DAMPAK EKONOMI GLOBAL PASCA COVID-19

Pandemi Covid-19 telah mengubah berbagai kebijakan struktural dan pertumbuhan ekonomi di dunia. Sebagai salah satu penopang aktivitas negara, selama pandemi ini perekonomian dunia mengalami resesi atau tumbuh negatif akibat dampak penurunan pendapatan negara, peningkatan keperluan belanja negara, pelemahan ekonomi seperti turunnya penerimaan perpajakan dan PNBP, dukungan insentif pajak, serta tarif PPh, dan jatuhnya harga komoditas.

Dilansir dari data Waldometers, 2.552.157 orang di dunia dinyatakan positif COVID-19 pada Rabu, 22 April 2020, pukul 05.49 pagi hari. Penyebarannya yang masif mengharuskan pemerintah untuk melakukan prevensi yang tegas seperti penerapan lockdown atau Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) layaknya di Indonesia. Namun dibalik kebijakan tersebut pasti menimbulkan dampak seperti terbatasnya ruang gerak perekonomian suatu bangsa.

Sebuah jurnal berjudul “The Economics Risks and Impacts of Epidemics” karya Bloom, Cadarette, dan Sevilla (2018) menggambarkan dengan cermat masalah ekonomi yang sekarang dengan COVID-19: biaya untuk sistem kesehatan, baik publik maupun swasta, perawatan medis bagi yang terinfeksi dan pengendalian wabah; tekanan pada sistem kesehatan karena tidak dapat secara bersamaan menangani masalah kesehatan yang lebih rutin selama wabah; kehilangan produktivitas kerja; pembatasan sosial mengganggu kegiatan ekonomi; dampak pariwisata; berdampak pada investasi.

Jurnal yang dipublikasikan dua tahun silam tersebut sangat memberikan gambaran bahwa pandemi bisa menjadi hal yang mengganggu kestabilan perekonomiam negara bila tidak dicegah dan diatasi dengan baik. Kekhawatiran ini pun digaungkan oleh Fan, Jamison, dan Summers (2018) dalam jurnal berjudul “The Inclusive Loss from Pandemic Influenza Risk” . Mereka mencatat baru-baru ini "kebutuhan yang tidak terpenuhi untuk investasi yang lebih besar dalam kesiapan terhadap epidemi dan pandemi utama." Mereka memperkirakan kerugian tahunan yang diperkirakan dari risiko pandemi adalah setiap tahun sekitar 500 miliar dolar AS, atau 0,6% dari pendapatan global. Guncangan pasar keuangan global antara lain terlihat pada pembalikan modal (capital outflow) dan tekanan mata uang. Nilai tukar mata uang berpotensi mengalami depresiasi, arus modal keluar (capital flight) dan volatilitas pasar keuangan.

Dampak yang saat ini banyak terjadi ada pada rumah tangga yaitu ancaman penurunan daya beli dan konsumsi dan kehilangan pendapatan. Sedangkan, dampak pada UMKM yaitu terganggunya kemampuan pemenuhan kewajiban kredit sehingga meningkatkan kredit macet (NPL) secara signifikan yang berpotensi semakin memperburuk perekonomian. Besar kemungkinan lembaga keuangan juga akan merubah praktik keuangannya setelah pandemi COVID-19 berakhir, ini karena prevalensi gabungan pandemi besar meningkat.  Bank-bank pada dasarnya rentan pada masa-masa krisis ekonomi, karena kemungkinan kredit macet dan kemungkinan dalam kasus-kasus. Selain itu COVID-19 akan berpotensi mengubah pembiayaan perusahaan secara permanen karena menunjukkan underpricing risiko ekuitas sebelumnya.

Tidak menutup kemungkinan dampak signifikan yang akan terjadi setelah pandemi berakhir adalah perubahan mindset baik masyarakat maupun negara seperti perubahan behaviour konsumen dan rantai suplai. Sebagai negara yang pertama kali mengumumkan kasus COVID-19, China akan  menjadi bahan perhitungan negara lainnya untuk mengubah peran China sebagai rantai suplai produksi agar tidak menumpuk disana. Sebab semakin lama penundaan penyebaran epidemi akan menurunkan kinerja rantai suplai. Gangguan permintaan yang lebih lama juga berkontribusi terhadap penurunan kinerja lebih lanjut. Namun hal ini pun belum tentu dapat direalisasikan karena faktor keamanan yang mengatur perdagangan internasional.

Selama diterapkan kebijakan social distancing kemungkinan resesi ekonomi akan terus berlangsung. Namun hal ini bisa ditekan dengan berbagai stimulus. Salah satu stimulus yang banyak diterapkan di berbagai negara adalah pelebaran APBN dengan mengurangi budget yang tidak perlu untuk kondisi saat ini. Tidak ada yang bisa memastikan kapan pandemi ini berakhir dan dampak terburuknya seperti apa, seluruh negara sedang mengalami resesi ekonomi akibat penurunan secara agregat, permintaan (demand) dan penawaran (supply) terhadap bahan pangan seimbang, sehingga kesenjangan output negatif.

IMF memperkirakan dunia akan masuk dalam resesi terbesar sejak tahun 1930an. Perkiraannya GDP dunia akan menciut 3% tahun ini. Dengan pandemi sebesar ini angka 3% terbilang cukup baik karena yang ditakutkan lebih dari itu. Hal ini pun disetujui oleh ketua IMF, "We are (now) better off on the health front. On the economic front, I think it makes a big difference that there are lenders of last resort, that monetary policy is proactively able to come in and ensure enough liquidity in markets, that fiscal policy is able to play a major role in supporting firms and households."

Resesi ekonomi cenderung mudah diatasi oleh karena itu sebaiknya pemerintah untuk saat ini fokus pada penanganan kesehatan terlebih dahulu untuk mencegah wabah ini meluas dengan mengeluarkan tambahan anggaran untuk penanganan dan pembelian alat medis.


DAFTAR REFERENSI

https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1366554520304300

https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1544612320303974

https://amp.scmp.com/economy/china-economy/article/3079983/coronavirus-american-factory-boss-says-pandemic-will-change?__twitter_impression=true

https://www.cnbc.com/amp/2020/04/14/imf-global-economy-to-contract-by-3percent-due-to-coronavirus.html?__twitter_impression=true

https://bebas.kompas.id/baca/riset/2020/04/20/stimulus-ekonomi-meredam-gejolak-covid-19/

*Femi Yuniar, Mahasiswi Program Studi Jurnalistik UIN Bandung


Komentar

Postingan Populer